PRANATA PEMBANGUNAN BIDANG ARSITEKTUR
2.1. Pembangunan dan Masalah Kepranataan di Bidang Arsitektur
Pembangunan dalam berbagai literature diartikan sebagai suatu proses perubahan (“change”), paradigma perkembangan yang terjadi sejalan dengan perubahan peradaban hidup manusia. Beragam cara pandang yang terjadi, atas pendekatan sektor kegiatan, atas pendekatan struktural, atas pendekatan sumberdaya, dan lain sebagainya. Yang dalam inti pemikirannya adalah bahwa perubahan tersebut merupakan upaya manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dimuka bumi ini. Negara Sedang Berkembang (NSB) Negara yang sedang menjalani proses perubahan dan memiliki pendapatan yang rendah, sering diteliti dan dipelajari oleh para pengamat dan pemikir untuk mencari pemecahan dan alternatif jalan keluar agar menjadi sejahtera dan berpendapatan tinggi.
Ada beberapa paradigma pembangunan yang terjadi, pembangunan diartikan kembali pun memiliki cara pandang dan cakrawala yang sangat luas. Perkembangan cara pandang pun didasarkan pada sudut pandang yang berbeda-beda pula. Dan terminologi pembangunan (development) diartikan sangat beragam dan multi dimensi. (1) Paradigma tingkat kemajuan relative, (2) paradigma hambatan-hambatan dalam pembangunan, (3) paradigma investasi besar-besaran, (4) paradigma ketergantungan, (5) paradigma kebutuhan pokok, dan (6) paradigma ketidakmampuan administrasi, adalah beberapa cara pandang melihat satu proses pembangunan suatu bangsa.
Paradigma ketidakmampuan administrasi adalah carapandang adanya kelemahan dan/atau ketidakmampuan administrasi sehingga masyarakat tidak mampu menentukan masa depannya, tidak adanya kesesuaian antara harapan dan tujuan akhir karena masalah tersebut.[1] Ketidakmampuan tersebut karena lemahnya pengelolaan program/proyek yang dapat menyebabkan perubahan adalah gagal. Upaya yang harus ditempuh adalah (a) ada peningkatan kemampuan untuk melakukan perubahan, (b) penekanan pada aspek pemerataan, dan (c) ada kesinambungan serta sifat saling ketergantungan. Makna yang terkandung adalah untuk mencapai keadaan yang diharapkan dibutuhkan pengelolaan program/proyek yang dapat menyebabkan perubahan yang berarti bagi masyarakatnya.
Ekspresi ketidakmampuan administrasi dalam bidang arsitektur sering terjadi pada proyek pengadaan barang dan jasa. Perubahan kebijakan yang mengatur terus berubah sejalan dengan perkembangan budaya masyarakat yang bersangkutan. Indonesia juga mengalami hal yang sama. Hal ini dapat kita lihat pada peraturan dan/atau undang-undang yang mengatur persoalan pengadaan barang dan jasa. Keppres 16 tahun 1994 diganti dengan keppres 18 tahun 2000, kemudian diganti dengan keppres 80 tahun 2003 dan direview oleh keppres 61 tahun 2004 semua itu mengatur tentang tata cara pengadaan barang dan jasa yang pembiayaannnya dari pemerintah. Masing-masing peraturan/keputusan memiliki latar belakang yang berbeda, sehingga maksud dan tujuan serta sasaran yang akan diwujudkan disesuaikan dengan permasalahan pada waktu peraturan tersebut ditetapkan.
Kenyataan di lapangan aplikasi dari peraturan dan/atau keputusan dari pemerintah sering berbeda, mengalami bias, mengalami distorsi, mengalami salah peruntukan, mengalami salah penerapan, berpihak pada kelompok tertentu. Keppres no. 80 tahun 2003 dalam satu tahun difungsikan, muncul persoalan yang sangat kompleks. Kompetisi sebagai salah satu tujuan tidak terwujud, yang ada adalah arisan/giliran mendapatkan program/proyek. Peraturan tidak difahami secara utuh, melainkan untuk melegalkan untuk kondisi yang direncanakan. Pendekatan yang dipakai terlalu protektif (melindungi diri sendiri) dan tidak memberdayakan institusi. Pengawasan/penegakan hokum tidak berjalan dengan baik. Akibatnya pemerintah mendapatkan harga yang lebih mahal dari harga pasar.
Fenomena permasalahan kepranataan sangat beragam, dari proyek yang diarahkan ke pihak kontraktor (proyek revitalisasi alun-alun lor Surakarta, Suara Merdeka, 1996), proyek yang menyalahi prosedur (proyek penormalan sungai Tanjung dan Sinung, Suara Merdeka, 1996), dan proyek sistem tunjuk ( di Yogyakarta banyak proyek sistem tunjuk, Suara Merdeka, 1996), praktek KKN masih sering terjadi (Inkindo, kompas, januari 2002), masalah modal dan alat tidak mencukupi sehingga tidak bias ikut tender (kontraktor Kaltim tidak bisa ikut tender, kompas, januari 2002). Masih banyak lagi bias, penyimpangan, dan penyalahgunaan hasil pengambilan keputusan public, penyebab maupun akibat yang terjadi erat kaitannya dengan proses pembentukan peraturan itu sendiri. Antara yang menyusun peraturan dan yang menjalankan kurang memahami secara keseluruhan, masih ada kepentingan individu/kelompok lebih dikedepankan daripada kepentingan yang lebih luas. Kelemahan struktur isi dan bahasa dapat dijadikan awal penyimpangan, karena persepsi dan pengetahuan, serta ketrampilan yang berbeda antara masing-masing pihak.
Bidang lain yang sangat terkait adalah (1) pembangunan perumahan dan permukiman dan (2) pembangunan kota. Dua kegiatan pembangunan bidang arsitektur tersebut juga berbeda pada cara pandangnya dalam proses kegiatan pembangunan, masing-masing memiliki pendekatan yang khusus sesuai konteks yang ada. Pembangunan perumahan dan permukiman sebagai misal, bahwa pembangunan perumahan dan permukiman merupakan upaya pemenuhan kebutuhan pokok (basic needs), bahwa rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, dan ini akan memberi wacana kepada permasalahan kepranataan pembangunan yang terjadi.
Masalah pembangunan adalah masalah perubahan, perubahan yang sangat kompleks. Satu pendekatan dan/atau cara untuk memahami permasalahan pembangunan (perubahan) adalah dengan berfikir sistemik. Sistem adalah gejala/fenomena yang telah diketahui strukturnya, sedangkan struktur merupakan unsur dan keterkaitan antar unsur. Pemahaman sintesa atau membangun struktur adalah hasil akhir proses pembelajaran pada tingkat sarjana. Fenomena/gejala dapat dipelajari melalui contoh-contoh yang ada di lapangan dan dengan cara menyusun gejala tersebut akan diperoleh kemampuan berfikir logic dan sistemik melalui metoda kritis.
2.2. Pendekatan Sistem dalam Pranata Pembangunan
Terminologi sistem digunakan dalam berbagai cara yang sangat luas sehingga untuk mendefinisikannya dalam suatu pernyataan yang merangkum semua penggunaannya dan cukup ringkas untuk memenuhi maksudnya adalah sulit. Gordon (1989) mendefinisikan sistem sebagai suatu agregasi atau kumpulan objek-objek yang terangkat dalam interaksi dan kesalingtergantungan yang teratur. Robert dan Michael (1991) menyatakan sistem sebagai suatu kumpulan dari elemen-elemen yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan, dalam interaksi yang kuat maupun lemah dengan pembatas sistem yang jelas. Murdick (1995) menyatakan bahwa sistem sebagai kumpulan elemen-elemen yang berada dalam keadaan yang saling berhubungan untuk suatu tujuan yang sama.[2] System (set of principle) ….. a sceme of ideas or principle, for example, for classification or for forms of government or religion ….. System (way of proceeding) …. A method or set of procedures for achieving something …… System (orderliness) ….. the use of result of carefull planning and organization linked object ……[3].
Dari beberapa pengertian tersebut dengan ditambahkan satu pemahaman paradigma pembangunan berbasis pada ketidakmampuan administrasi, maka dapat dijabarkan bahwa pranata pembangunan sebagai suatu sistem adalah sekumpulan aktor/stakeholder dalam kegiatan membangun (pemilik, perencana, pengawas, dan pelaksana) yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan dan memiliki keterkaitan satu dengan yang lain serta memiliki batas-batas yang jelas untuk mencapai satu tujuan. Ketidakmampuan administrasi ini diukur adanya penyimpangan tata cara dan rendahnya kualitas produk yang dihasilkan dengan penggunaan biaya yang diatas harga pasar.
Lebih jauh bahwa sistem adalah gejala/fenomena yang telah diketahui strukturnya. Struktur disini mengandung arti unsur-unsur yang terlibat dan hubungan keterkaitan yang terjadi antar unsur tersebut. Sedikit pihak yang terlibat maka sistem tersebut semakin sederhana (simple system), sedangkan bila pihak yang terlibat semakin banyak maka disebut sistem kompleks (complex system). Kategori sistem ini dapat ditunjukan melalui karakternya, sistem sederhana memiliki karakter sebagai berikut : [4]
1) Jumlah unsur/pihak terlibat sedikit dan interaksinya jelas
2) Atribut dan aturan telah diatur oleh aturan tertentu
3) Sistem berfungsi terkendali oleh waktu (memiliki durasi waktu yang jelas)
4) Sub sistem tidak diturunkan dari tujuannya (goals)
5) Perilaku sistem dapat diprediksi
Sedangkan untuk sistem yang komplek memiliki karakter sebagai berikut :
1) Jumlah unsur/pihak terlibat banyak dan interkasi tidak jelas (tumpang tindih)
2) Atribut dan aturan diatur atas kesepakatan kontrak
3) Sistem berfungsi tidak terkendali oleh waktu
4) Sub sistem diturunkan dari bagian-bagian tertentu
5) Perilaku sistem tidak dapat diprediksi
Suatu sistem dapat merupakan suatu kombinasi antara sistem sederhana dan sistem kompleks. Adopsi peran/pelaku yang terlibat atau partisipan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori adalah tunggal (unitary), jamak (pluralist), dan campuran (coercive). Jadi sistem dapat dipahami tipe dan jenisnya melalui karakter dan partisipan yang terlibat didalamnya. Secara matriks dapat dikelompokan tipe sistem yang didasarkan atas permasalahannya sebagai berikut
Atas dasar penggolongan tipe ideal suatu sistem dalam konteks permasalahannya maka pranata pembangunan sebagai suatu sistem yang terjadi di lingkungan bidang arsitektur dapat disebut pada tipe “simple-pluralist”. Simple karena unsur utama terkait ada tiga, yaitu : pemilik (owner), perancang/pengawas (designer/supervise), dan pelaksana (contractor) dan jumlah sedikit. Pihak atau partisipan adalah jamak, karena memiliki karakter berbeda dan bentuk organisasi berbeda pula. Ada kultur berbeda pula pada masing-masing peran, pemilik memiliki atribut yang spesifik, perancang memiliki atribut yang khusus pula, dan kontraktor juga memiliki atribut berbeda. Masing-masing berbeda dan berkumpul dalam satu kelompok yang memiliki latar belakang berbeda maka dapat dikatakan jamak. Cara untuk memahami kelompok kumpulan ini ada dua yaitu : “social system design” dan strategic assumption surfacing and testing”.
Pemahaman sistem yang paling sederhana adalah diawali dengan konsep umpan balik (feed back) yang menunjukan bagaimana tindakan dapat memperkuat atau menyeimbangkan. Umpan balik penguatan merupakan mesin pertumbuhan, umpan balik keseimbangan (stabilitas) berorientasi pada tujuan. Tujuan sendiri menjadi target yang eksplisit dan implicit. Umpan balik ini dapat ditunjukan melalui satu criteria yang sifatnya mengevaluasi dan mengkoreksi dari produk yang telah diaplikasikan.
Dalam wacana kebijakan publik yang dituangkan dalam bentuk keputusan/peraturan/undang-undang dapat direview dengan pendekatan kriteria hukum pareto untuk suatu pengelolaan barang publik. Kriteria efisiensi, kriteria pembagian proporsional, criteria keamanan pareto, criteria kesejahteraan social maksimum, criteria nilai maksimum produk sosial, adalah tolak ukur yang dapat dipergunakan untuk suatu produk hasil kebijakan public yang dikeluarkan oleh institusi public.[5]
Pranata adalah interaksi antar individu/kelompok/kumpulan, pengertian individu dalam satu kelompok dan pengetian individu dalam satu perkumpulan memiliki makna yang berbeda. F Durkheim seorang sosiolog membagi dua pengertian antara individu dalam kelompok dan individu dalam perkumpulan, dan P Sorokin sosiolog amerika membedakan hubungan kekeluargaan antar individu tersebut dan hubungan kontraktual yang mendasari hubungan perkumpulan. Dasar organisasi individu dalam kelompok adalah adat-istiadat, sedangkan dasar organisasi individu dalam perkumpulan adalah organisasi buatan. Hubungan yang terjadi dalam satu kelompok didasarkan perorangan, sedangkan dalam kumpulan kelompok adalah berazasguna/anonym sangat tergantung dengan tujuan akhir yang sering dinyatakan dalam kontrak.[6] Kontrak adalah sebagai parameter hubungan yang terjadi dalam proses kegiatan pembangunan. Hubungan antara pemilik dengan perancang, hubungan antara pemilik dengan pelaksana. Kontrak menunjukan hubungan yang bersifat independent dan terarah atas tanggungjawab dari tugas dan fungsinya.
Pembangunan adalah perubahan individu/kelompok dalam kerangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan hidup. Artinya adalah bahwa pranata pembangunan bidang arsitektur merupakan interaksi/hubungan antar individu/kelompok dalam kumpulan dalam kerangka mewujudkan lingkungan binaan. Interaksi ini didasarkan hubungan kontrak, dan bukan hubungan sosial. Analog dari pemahaman tersebut dalam kegiatan yang lebih detil adalah interaksi antar pemilik/perancang/pelaksana dalam rangka mewujudkan ruang/bangunan untuk memenuhi kebutuhan bermukim. Dalam kegiatannya didasarkan hubungan kontrak, dan untuk mengukur hasilnya dapat diukur melalui kriteria barang publik (hokum pareto)
Dari beberapa penjelasan diatas bahwa pranata pembangunan di bidang arsitektur (gedung/bangunan) dapat dipahami merupakan suatu sistem. Pihak-pihak terlibat adalah pemilik, perancang, pengawas, dan pelaksana. Tipe dan karakternya termasuk dalam kategori sistem sederhana yang jamak (simple-pluralist). Sistem SP ini harus memiliki umpan balik atas dasar aturan dan atau kesepakatan yang berlaku, dan output yang dihasilkan dapat diukur melalui kriteria barang publik (bila gedung/bangunan tersebut milik Negara). Keterkaitan antar pihak-pihak yang terkait merupakan hubungan kontraktual yang diatur dalam suatu bentuk perjanjian.
Selain kontrak, sebagai suatu instrument mekanisme penyelenggaraan ada beberapa instrument lain seperti pelelangan (tender), K3 (keamanan, ketertiban, dan keselamatan), perijinan pembangunan, dan etika. Secara skematik keterkaitan antar pihak dalam penyelenggaraan kontruksi dan proses kegiatannya dapat digambarkan sebagai berikut :
2.3. Pranata Pembangunan Bidang Arsitektur (Gedung/Bangunan)
Pranata yang telah disahkan menjadi produk hukum dan merupakan satu kebijakan publik. Kebijakan public itu sendiri merupakan pola keterganungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolekstif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk bertindak atau tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintahan. Salah satu elemen kebijakan adalah peraturan perundang-undangan sebagai suatu kerangka legal formal yang memberikan arah bagi rencana tindak operasional bagi pihak-pihak terkait (stakeholder) yang diatur oleh kebijakan tersebut. Peraturan perundang-undangan merupakan kesatuan perangkat hokum antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya memiliki hubungan keterikatan.
Berdasarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, maka hiraki dari peraturan di Indonesia adalah :[7]
1. Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
3. Undang-Undang (UU)
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
5. Peraturan Pemerintah (PP)
6. Keputusan Presiden (Keppres)
7. Peraturan Daerah (Perda)
Elemen pelaksana lainnya dari Keputusan Presiden adalah Peraturan/Keputusan Menteri sebagai arahan bagi pelaksanaan kewenangan bidang pemerintahan tertentu yang kedudukannya secara hirarki langsung dibawah Keputusan Presiden. Peraturan Daerah hendaknya juga mengacu kepada Peraturan/Keputusan Menteri sehingga arah pembangunan di daerah-daerah dapat berlangsung secara terintegrasi.
Keppres no. 16 tahun 1994, Keppres no. 18 tahun 2000, dan Keppres no. 80 tahun 2003 adalah Keputusan Presiden yang mengatur tentang tata cara pengadaan barang dan jasa dengan pembiayaan dari pemerintah. Keppres tersebut merupakan peraturan operasional yang mengacu pada peraturan yang diatasnya. Masing-masing memiliki latar belakang yang berbeda, Keppres no. 80 tahun 2003 lebih dominant pada persoalan keuangan Negara.
Ada 5 (lima) tahapan untuk memahami proses kebijakan publik itu agar dapat berjalan sesuai dengan tujuannya, adalah (1) tahap agenda permasalahan, (2) tahap formulasi kebijakan, (3) tahap adopsi, (4) tahap implementasi, dan (5) tahap evaluasi.[8] Kenyataan yang terjadi antara kebijakan yang dikeluarkan dengan hasil yang akan diharapkan terdapat penyimpangan, terdapat penyalahgunaan, dan terdapat inkonsistensi.
Kenapa terjadi kesenjangan ? kesenjangan dan/atau penyimpangan, atau bahkan penyalahgunaan kebijakan. Untuk memahami bias/distorsi tersebut dapat digunakan beberapa pendekatan untuk mengetahuinya, pendekatan itu oleh Simon (1960) digambarkan dalam model empat tahap, yaitu : intelegence, design, choice, and implementation. Dibutuhkan metoda pengambilan keputusan yang tepat untuk mengatasi akar masalah yang terjadi. Dengan pengambilan keputusan yang tepat dapat meminimalkan penyimpangan tersebut.
Ada beberapa metoda untuk mengatasi upaya tersebut, adalah metoda pareto optimasi, metoda alternatif optimal, metoda bargaining nash, dan metoda additif utility. Pareto optimasi dan alternatif optimal lebih menekankan pada aspek maksimal sumber daya, sedangkan bargaining nash dan addity utility lebih menekankan pada aspek kegiatan tawar-menawar dan solusi kebaikan bagi semua pihak. Dalam tataran operasional pun terdapat beberapa pendekatan pengambilan keputusan dengan beberapa metoda. Metoda tersebut adalah :
a. Metoda tawar-menawar incremental, merupakan model yang paling mendasar dalam satu organisasi, yaitu pengambilan keputusan melalui proses tawar-menawar,
b. Metoda mixed-scanning, metoda ini menawarkan kompromi antara keputusan rasional dan incremental, kompromi ini lebih bersifat pada strategi jangka pendek dan jangka panjang,
c. Metoda agregatif, teknik metoda Delphi dan teknik pengambilan keputusan lainnya,
d. Metoda keranjang sampah (the-garbage-can), metoda ini lebih melihat pada apa yang terjasi sesuai dengan kenyataan, karakter yang ditampilkan, isu yang bermacam-macam, dan masalah yang muncul.[9]
Penyelenggaraan bangunan adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Bangunan gedung itu akan berfungsi dengan baik dan sesuai dengan pemanfaatan dan lingkungan dimana bangunan itu berdiri, maka dibutuhkan satu proses perencanaan tekenis dan pelaksanaan kontruksi yang teliti dan sesuai standarisasi yang berlaku. Perencanaan yang baik dalam merancang suatu bangunan akan menghasilkan bangunan-bangunan yang baik pula dan berfungsi dengan baik. Kegiatan proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi biasanya dilakukan oleh seorang arsitek tim. Danisworo (1993) menjelaskan arsitektur (karya disain arsitek) adalah kompenen pembentuk utama dari lingungan budaya/lingkungan binaan dimana lingkungan ini adalah bagian dari lingkungan hidup.
Sehingga peranserta/tanggung jawab arsitek sebagai perancang dari komponen utama ini sangat besar. Daya imajinasi, inovasi, dan kreatifitas sangat mempengaruhi kualitas dari lingkungan binaan yang terbentuk. Arsitek memiliki tanggungjawab yang besar terutama apabila diakitkan dengan berbagai dampak yang ditimbulkan oleh lingkungan tersebut kepada tatanan hidup dari masyarakat penghuni.
Beberapa syarat penyelenggaraan bangunan gedung yang tentunya harus dipahami dan diaplikasikan pada proses perencanaan fisik bangunan. Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud dalam persyaratan teknik bangunan meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan (UU RI no. 28 tahun 2002 pasal 7 ayat 3). Persyaratan arsitektur bangunan gedung adalah salah satu dari tiga persyaratan tata bangunan yang dimaksud dalam pasal 7 ayat 3 ini (dua syarat lainnya adalah peruntukan dan intensitas bangunan gedung dan pengendalian dampak lingkungan). Persyaratan arsitektur bangunan gedung mencakup 3 syarat, yaitu (1) penampilan bangunan gedung, (2) tata ruang dalam bangunan, dan (3) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya.
Bangunan gedung memiliki undang-undang, UU nomor 28 tahun 2002 tentang bangunan gedung yang mengatur segala hal tentang bangunan gedung dan persyaratan yang harus diperhatikan. Artinya peraturan tentang kepranataan untuk kegiatan konstruksi harus mengacu dari undang-undang tersebut. Ada paying hokum atas keputusan presiden berkitan tentang tata cara pengadaan barang dan jasa milik pemerintah, dan bagaimana dengan milik swasta?. Apakah umumnya milik swasta tertutup ? Bila terjadi penyimpangan, bias, dan penyalahgunaan aturan yang mengatur sistem pengadaan barang dan jasa maka tujuan undang-undang dan/atau peraturan tersebut tidak terpenuhi. Artinya bahwa kebijakan public masih berpihak, berpihak kepada yang memberi manfaat atau keuntungan tertentu.
[1] Rekso Putranto S (1992),”Manajemen Proyek Pembangunan”, PAU-Universitas Indonesia, halaman 10-11.
[2] Kadarsyah S dan Ali Ramdhani (2002),”Sistem Pendukung Keputusan”, Remaja Rosdakarya PT, Bandung, Halaman 7-8.
[3] Microsoft Encarta Reference Library 2005, Microsoft Co. All Right Reserved
[4] Jackson MC (1990),”Beyond a system of system methodologies”, dalam Total System Intervention, Chapter 2, John Wiley and Son, Inc.
[5] Randall Alan (1987),”An economic approach to Natural Resourches and environmental Policy”, John Wiley and Son.
[6] Koentjaraningrat (1979).”Pengantar Ilmu Anthropologi”, Aksara Baru, Jakarta, halaman 172-173
[7] http: //www.landpolicy.org/special.topics/Analisis%20Kebijakan%20Pengambilan%20Tanah.pdf.
[8] James E Anderson (1984),”Public Policy Making”, Holt, Reinhart And Winston, University of Houston, USA, page 19-20.
[9] Loc cit, “Sistem Pendukung Keputusan”, halaman 15-21.
Kamis, 10 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar